Nemu artikel Samuel Mulia, Parodi Kompas Minggu (lupa tanggal berapa) ….
Sekitar satu bulan yang lalu saya bersama rekan sejawat mengurus surat-surat untuk sebuah keperluan. Kami mendapat waktu janji temu dengan pihak pengurus surat-surat itu pada Senin pukul 11 siang. Saat saya sudah menyiapkan diri dan siap berangkat, teman sejawat saya memberitahu secara mendadak, kalau giliran saya adalah hari Kamis, bukan hari Senin.
***
Sekitar satu bulan yang lalu saya bersama rekan sejawat mengurus surat-surat untuk sebuah keperluan. Kami mendapat waktu janji temu dengan pihak pengurus surat-surat itu pada Senin pukul 11 siang. Saat saya sudah menyiapkan diri dan siap berangkat, teman sejawat saya memberitahu secara mendadak, kalau giliran saya adalah hari Kamis, bukan hari Senin.
Kalau soal masalah menjadi jengkel, sudah tak perlu digubris. Hidup kan cuma habis jengkel terbitlah tidak jengkel, setelah tidak jengkel terbitlah jengkel.
Keesokan harinya saya bertemu dengan teman sejawat itu. Saya bertanya bagaimana pertemuannya. ”Resek, Mas. Ditanyain segala macam. Yang inilah, yang itulah. Pokoknya gengges (kata lain dari mengganggu).” Ucapannya itu masuk ke dalam pikiran saya. Dan kebetulan saya ini orang yang kalau sudah mendengar yang negatif, langsung stres. Kepikiran sampai hari Kamis. Apa gerangan yang akan terjadi dengan saya nanti? Dan sebalnya saya sendirian saja. Coba hari Senin, kan bisa berdua. Jauh lebih enak bersama-sama menghadapi orang yang gengges plus resek.
Maka tibalah hari Kamis. Singkat cerita, saya tak mengalami apa yang dialami teman sejawat saya. Ia berhadapan selama kurang dari lima belas menit, saya hanya kurang dari lima menit. Tak ada yang resek, tak ada yang gengges. Sepulang dari urusan itu, saya mulai berpikir. Selama ini saya mendengarkan orang lebih banyak ketimbang menyaring apa yang saya dengar. Kejadian di atas menunjukkan orang bisa saja ke tempat yang sama, berhadapan dengan permasalahan yang sama, tetapi menelurkan hasil yang berbeda. Maka dari itu, masukan itu kadang perlu disaring.
Di Twitter saya membaca banyak bahan pembicaraan. Dari yang berbau politik sampai urusan film. Sejujurnya saya ingin turut berkomentar, tetapi nurani saya memeringati agar sebaiknya tidak dilakukan karena apa yang saya tulis bisa jadi masukan yang baik, tetapi bisa jadi dipergunakan orang lain untuk mengadu domba.
Belum memikirkan yang salah mengartikan apa yang terkandung dalam komentar yang akan saya buat, dan meneruskan yang salah dimengerti itu kepada orang lain. Maka bencana akan pasti terjadi. Dan sejujurnya, dengan sejuta alasan, beberapa manusia senang kalau bencana itu terjadi. Apalagi tak semua orang suka dengan saya dan tak semua orang mau menjadi malaikat. Salah. Semua mau menjadi malaikat. Yang satu mau jadi malaikat pencabut nyawa, yang lain mau menjadi malaikat surgawi.
Jadi menyaring bukan saja dilakukan ketika mendengar masukan dari orang lain, tetapi ketika saya mengeluarkan pandangan-pandangan ke ruang publik. Maka menyaring memerlukan kepekaan nurani yang dalam, dan tidak di bawah pengaruh emosi sesaat. Seperti begitu banyak hoax yang dikirimkan ke BBM Anda dan saya yang kadang membuat deg-degan, misalnya. Itu hanya sebuah contoh bagaimana yang eksternal itu bisa saja menggoyangkan iman, tetapi masalah utamanya saya dan Anda harus melatih dengan rajin untuk belajar menyaring.
Dua hari sebelum tenggat waktu mengirimkan tulisan ini, saya menengok orang sakit. Istrinya berdoa minta kepada Tuhan supaya suaminya boleh sembuh. Gara-gara percakapan dengan istrinya itu, di perjalanan pulang saya jadi mengevaluasi doa-doa yang saya panjatkan kepada Yang Mahaesa itu. Benarkah saya ini sudah menyaring dengan benar apa yang saya ajukan di dalam doa?
Mengapa konten dari doa saya cuma begitu-begitu saja? Kalau tak minta kaya, minta kondang, sehat, enteng jodoh, panjang umur, punya anak. Konten doa saya sangat mencitrakan doa seorang pengecut dan manusia yang mau menang sendiri?
Kalau misalkan pasangan saya sakit keras dan sekarat, apakah doa saya akan berakhir minta sembuh? Mengapa saya minta sembuh? Karena saya tak mau kehilangan. Padahal saya tahu manusia itu kalau enggak sekarang, sekian hari, menit, bulan, tahun kemudian, yaa...pasti game over.
Doa saya adalah doa seorang pengecut. Kontennya hanya melulu menyenangkan saya, tetapi tak berani menyenangkan Sang Pemilik. Nurani saya nyamber. ”Minta melulu. Dari kecil, remaja, dewasa, tua, mintaaaa...melulu. Kapan mau memberi, Bung!” Nanti kan saya bernyanyi nyaring seperti ini. ”Yaaa...saya kan boleh dong minta sama Tuhan. Namanya juga manusia.”
Kalau pasangan saya meninggal, terus kenapa? Apakah saya akan bertanya kepada diri sendiri, untuk apalagi saya hidup, lah wong pasangan saya sudah tidak ada? Tidakkah saya bisa sebentar saja berpikir bahwa saya sudah diberi kesempatan hidup bersama sekian belas atau puluh tahun, yaa...cukup adil bukan kalau sekarang tak bisa bersama lagi? Kan saya dan Anda tahu, tak ada pesta yang tak pernah usai, bukan?
Saya ini cuma berani memiliki, tapi takut kehilangan. Sama seperti kalimat yang selalu saya ucapkan, kalau saya ini ingin masuk surga tapi tak mau mati. Maka menyaring permintaan dalam doa itu penting, tak hanya untuk mengurangi doa-doa egois, tetapi juga menghindari kemungkinan menjadi pengecut.
No comments:
Post a Comment