instagram

Pages

Friday, January 3, 2014

Monster in Law

Sewaktu bekerja dulu di salah satu hotel jaringan internasional bintang lima, aku adalah pegawai termuda di kantor eksekutif. Sebagian besar teman makan siangku ada yang hamil, sudah menikah, sudah beranak pinak, sudah selingkuh, sudah cerai, dan sudah tidak mau menikah lagi. Agak susah menelan setiap makan siangku ketika berkumpul dengan mereka dan bicara hal - hal pernikahan yang mana di benakku sempurna seperti dongeng anak kecil dan dihancurkanlah imajinasi itu oleh cerita mereka. Aku seperti dihadapkan pada Santa Claus itu tidak nyata dan dipaksa memahami. Sialan! menjadi dewasa itu memang jebakan.

Pembicaraan mengenai mertua tentunya merupakan topik hangat selain sex, anak, dan perselingkuhan. Semua teman makan siangku setuju bahwa mertua itu adalah monster berbalut sosok yang harus dihormati dan dituruti. Waktu itu sih aku hanya berbagi senyum karena aku tidak pernah berhubungan dengan orang tua pacar - pacarku jadi tidak tau rasanya menghadapi calon mertua. Lalu kemudian lebih pada menyangkal, masa ada sih mertua yang sampai segitunya memperlakukan menantu. Wah berarti kisah - kisah sinetron kacangan itu benar adanya. Pikirku waktu itu.

Ketika menikah, akupun juga lupa memperhitungan kebijakan keputusanku menikah untuk menghadapi mertua. Kupikir mertua adalah sebatas alih alih ketemu 6 bulan sekali dengan pencitraanku bagai praktisi hubungan masyarakat selama ini yang mampu mendamaikan setiap situasi menghadapi mereka. Gampang! suaraku hatiku begitu. Kalau tau situasi yang aku hadapi sekarang, pastinya 6 bulan lalu aku bilang sama suamiku "Sayang, kita lebih baik kumpul kebo aja!" hahahahaha

Ternyata keluhan mengenai mertua itu sama saja, hanya tingkat keparahannya berbeda - beda. Syukurlah mertuaku itu nilainya 6 dari 10 poin. Tingkat menjengkelkan, intervensi, intimidasi, dan pengaruh konvensionalnya itu masih dalam batas wajar menurut survey famili 100. Tapi….. ini rasanya nilainya 10 dari 10 poin untuk aku yang belum pernah menghadapi mertua dan memiliki latar belakang yang tidak seperti pada umumnya.

Yang membuat aku tertekan, depresi, dan muak dengan kehadiran mertua adalah sebatas karena aku dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga demokrat. Ayah dan Ibu membesarkan aku dengan cara yang gampang, bebas dan bertanggung jawab. My parents was not taking my fierceness personally and never judging them as rebellion against them! mereka menerima aku sebagai anak mereka yang memang beginilah dan ini bukan tentang mereka, ini tentang anaknya.

Ternyata menghadapi mertuaku ini, aku harus berupaya merumuskan beberapa tips ampuh :

BERSYUKUR
Akkkk sialan juga yaaaa ini jawaban klise atas semua masalah diatas segala emosi dan murka aku! Ya sudah, aku berusaha bersyukur karena kalau 29 tahun lalu mereka tidak bercinta maka suamiku itu tidak hadir dimuka bumi ini. Peduli setan cara mereka mendidik anaknya tapi ada sikap - sikap suamiku yang pastinya bikin aku jatuh cinta.

JARAK
Aku tidak mau terlalu dekat dan tidak mau terlalu jauh. Aku tidak mau terlibat dalam urusan pribadi mereka untuk memudahkan aku menjauhkan urusan pribadi aku dan rumah tangga kami dari tangan mereka. Lebih penting lagi, sedikit bicara banyak tersenyum dan tenggak alkohol sebelum ketemu mereka. Ini memudahkan stabilitas emosi dan tekanan jiwa. Sedikit bicara juga membantu aksi menjaga jarak dan sulit didekati. Dengan demikian, hubungan akan terjaga harmonis dipermukaan dan penuh angkara dibelakang. Peduli setan sama yang dibelakang. hahahahaha

KEPUTUSAN
Nah, ini yang paling penting. Mertua tu kan ya alih alih ingin yang terbaik untuk anaknya. Menasihati dan sedikit memaksa untuk menuruti kehendak mereka. Tapiiiiiiii, yang terpenting adalah aku dan suamiku menerima masukan mereka dan mengambil keputusannya. Biasanya pergulatan suami istri itu terjadi ketika suami atau istri nya memihak orang tua mereka bukan pasangannya. Syukurlah suami aku punya cara yang seru untuk menghadapi orang tuanya yang mana mertua aku. Kita selalu nampak "ya iyalah" didepan mereka namun segala keputusan diambil atas mufakat aku dan suamiku saja. Tentunya disini aku juga harus obyektif ya! bukan karena aku sengit lalu semua nasihat mereka itu kuanggap dementor. Aku tetap bijaksana menyaring segala masukan yang diterima.

Contohnya begini :
Mertua : Kalian itu jangan merokok, itu tidak sehat.
Kami : ya ya yaya

Dibelakang mertua : kami sepakat untuk tetap merokok dan membersihkan puntung rokok sebelum mereka datang.

-----

Mertua : Kalian harus memanfaatkan waktu untuk bekerja sebaik mungkin untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga.
Kami : ya ya ya ya

Dibelakang mertua : kami sepakat kalau mertua minta ketemu tapi kita tidak mau ketemu, kami beralasan bekerja untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

----

Mertua : ini ada es teler dan rendang enak
Kami : ya ya ya ya

Dibelakang mertua : kami harus obyektif, ini rendang dan es teler emang enak! hahahahaaha ya udah dimakan ajaaaa sihhhhhhh :)




No comments:

Post a Comment