instagram

Pages

Tuesday, January 21, 2014

Stella is Baking STELLASHOMEMADE <--- Kidding me not?

 Ada ekspresi yang lucu ketika menyodorkan kue buatan saya kepada beberapa teman. Ada yang mengernyit lalu tersenyum, ada yang ngga percaya sambil ngunyah sambil tetep bilang ngga percaya, ada yang langsung habis saat itu juga sambil bilang "ini pasti beli trus kamu packing sendiri", ada juga yang bilang "apa? loe? masak? how come? I never see that come in you?" Overall … they love my baking and that is the awesomeness I want to share :)

Waktu kecil, acara yang favorit kalau sabtu dan minggu pagi itu selain Doraemon, Sailormoon, Sinchan dan yang lain itu aku selalu menanti acara Sisca Soewitomo dan Rudi Choirudin. Kemudian beranjak remaja mulai nontonnya Jamie Oliver dan Nigella Bites juga ada Chef Michael, Bobby Chin, Anthony Bourdain. Dari situ yang sebenernya menunjukkan aku ini suka memasak. Sesekali kalau pas akhir pekan ya suka iseng belanja dan masak lalu Mama, Papa, dan Adik yang jadi jurinya. Kadang mereka suka dan kadang mereka tidak suka.

Beberapa waktu lalu saya sempat bikin perang saudara di hati dan kepala sambil bertanya terus "Mau saya apa sih?" mengingat sekarang saya menikah padahal tadinya tidak pengan, mengingat saya meninggalkan karir Public Relations padahal itu yang saya rintis sejak saya kuliah dan membuat pencapaian yang membuat saya bangga, dan mengingat saya kembali ke rumah dan ikut berkecimpung dalam bisnis keluarga yang sampai sekarang masih entahlah saya suka atau tidak berada disini. Jadi intinya saya itu mbingungi kalau orang Jawa bilang untuk mengekspresikan segala keputusan saya tidak jelas mendasar pada kebingungan "Mau saya apa sih?"

Akhirnya saya merenung dan mencoba mencari tahu meski itu bukan hal yang mudah, lalu tetiba berpikir aku suka memasak karena pengalaman kecil itu. Namun rasanya sedikit terhambat mengingat selama merantau dan tinggal di kost saya terhambat bersahabat dengan dapur. Untungnya kesukaan saya dalam mencicipi berbagai kuliner baru membantu untuk selalu membuat indra pengecap saya mengetahui mana makanan yang enak, kurang, dan tidak enak. Setelah meminta ijin pada suami karena saya nekat mengeluarkan beberapa ratus ribu uang untuk mencoba memasak tanpa tau hasilnya apa dan dengan resiko kerugian uang padahal beberapa ratus ribu itu cukup untuk membeli tas dan sepatu idaman.

Ternyata proses ingin memasak itu bukan hal yang mudah. Ada satu hari yang perlu aku habiskan berdikusi dengan Mbah Google bertanya resep dan mencari tau apa maksud dari satu resep juga memperjelas beberapa metode yang tidak lazim. Selanjutnya berkunjung ke toko bahan kue, karena akhirnya keputusan adalah mencoba membuat kue! Oh Gosh I'm baking in! Di toko inilah aku baru tau kalau aku suka dapur dan memasak. Perpaduan wanginya vanili, gurihnya keju, dan manisnya selai serta berbagai macam properti memasak membuatku gila karena bahagia, Oh really! 

Untuk memasak kue tentunya aku harus melibatkan 1 keluarga karena minder kalau harus memulai sendiri. Akhirna Mama, Adik, dan Suami dijadikan satu tim kecil dan dibagi tugas. Satu mengayak tepung, satu menakar resep, satu mencuci perabotan masa, dan pastinya semua dapat kebagian mencicipi. Melalui proses itu tentunya juga pakai rasa cemas dan gugup yaaaaa …. entah itu kue ketika masuk pemanggang keluarnya jadi bantat atau gosong.

Cukup mencengangkan ketika kue itu jadi meskipun warnanya gagal tidak sesuai yang kami inginkan. Tadinya rencana bikin red velvet cake tapi jadinya choco cake. Kalau soal rasa, melihat adik dan suamiku celamitan makan tanpa henti ya berarti ini cukup lah dinilai enak. Mengembangkan ide kreatifku karena kekuranganku adalah membuat cake ini berbentuk utuh bulat dan diberi cream menyeluruh seperti cake pada nilai kewajarannya, adalah membuatnya cantik didalam toples.

Karena suka dengan fotografi dan banci sosial media, tentunya hasil inovasi kreasi ini rajin dimasukkan dalam jejaring sosial yang naik daun itu. Senang juga rasanya ketika satu demi satu orang lain mulai tertarik untuk membeli, mencoba, dan dengan baik hati memberi masukan. Ada yang bilang enak, ada yang bilang kemanisan, dan ada yang bilang senang dengan inovasi cake in jar yang memudahkan untuk menyimpannya dan bisa dilanjutkan menikmati dilain waktu. Oh wow! So here I'm …. I'm baking and it bites … awwwwrrrr! 



*Now, I'm uploading these lovely serenade sweets menu on my instagram stellashomemade. So please be lovely and take a peek to know more. Interested in tasting this finger licking good treats? please feel free to contact me and I'll be delighted to deliver these to you :) *

Friday, January 17, 2014

Samuel Mulia : Mari Menyaring

Nemu artikel Samuel Mulia, Parodi Kompas Minggu (lupa tanggal berapa) ….

***


Sekitar satu bulan yang lalu saya bersama rekan sejawat mengurus surat-surat untuk sebuah keperluan. Kami mendapat waktu janji temu dengan pihak pengurus surat-surat itu pada Senin pukul 11 siang. Saat saya sudah menyiapkan diri dan siap berangkat, teman sejawat saya memberitahu secara mendadak, kalau giliran saya adalah hari Kamis, bukan hari Senin.
Kalau soal masalah menjadi jengkel, sudah tak perlu digubris. Hidup kan cuma habis jengkel terbitlah tidak jengkel, setelah tidak jengkel terbitlah jengkel.
Cuek saja
Keesokan harinya saya bertemu dengan teman sejawat itu. Saya bertanya bagaimana pertemuannya. ”Resek, Mas. Ditanyain segala macam. Yang inilah, yang itulah. Pokoknya gengges (kata lain dari mengganggu).” Ucapannya itu masuk ke dalam pikiran saya. Dan kebetulan saya ini orang yang kalau sudah mendengar yang negatif, langsung stres. Kepikiran sampai hari Kamis. Apa gerangan yang akan terjadi dengan saya nanti? Dan sebalnya saya sendirian saja. Coba hari Senin, kan bisa berdua. Jauh lebih enak bersama-sama menghadapi orang yang gengges plus resek.
Maka tibalah hari Kamis. Singkat cerita, saya tak mengalami apa yang dialami teman sejawat saya. Ia berhadapan selama kurang dari lima belas menit, saya hanya kurang dari lima menit. Tak ada yang resek, tak ada yang gengges. Sepulang dari urusan itu, saya mulai berpikir. Selama ini saya mendengarkan orang lebih banyak ketimbang menyaring apa yang saya dengar. Kejadian di atas menunjukkan orang bisa saja ke tempat yang sama, berhadapan dengan permasalahan yang sama, tetapi menelurkan hasil yang berbeda. Maka dari itu, masukan itu kadang perlu disaring.
Di Twitter saya membaca banyak bahan pembicaraan. Dari yang berbau politik sampai urusan film. Sejujurnya saya ingin turut berkomentar, tetapi nurani saya memeringati agar sebaiknya tidak dilakukan karena apa yang saya tulis bisa jadi masukan yang baik, tetapi bisa jadi dipergunakan orang lain untuk mengadu domba.
Belum memikirkan yang salah mengartikan apa yang terkandung dalam komentar yang akan saya buat, dan meneruskan yang salah dimengerti itu kepada orang lain. Maka bencana akan pasti terjadi. Dan sejujurnya, dengan sejuta alasan, beberapa manusia senang kalau bencana itu terjadi. Apalagi tak semua orang suka dengan saya dan tak semua orang mau menjadi malaikat. Salah. Semua mau menjadi malaikat. Yang satu mau jadi malaikat pencabut nyawa, yang lain mau menjadi malaikat surgawi.
Egois, dan pengecut pula
Jadi menyaring bukan saja dilakukan ketika mendengar masukan dari orang lain, tetapi ketika saya mengeluarkan pandangan-pandangan ke ruang publik. Maka menyaring memerlukan kepekaan nurani yang dalam, dan tidak di bawah pengaruh emosi sesaat. Seperti begitu banyak hoax yang dikirimkan ke BBM Anda dan saya yang kadang membuat deg-degan, misalnya. Itu hanya sebuah contoh bagaimana yang eksternal itu bisa saja menggoyangkan iman, tetapi masalah utamanya saya dan Anda harus melatih dengan rajin untuk belajar menyaring.
Dua hari sebelum tenggat waktu mengirimkan tulisan ini, saya menengok orang sakit. Istrinya berdoa minta kepada Tuhan supaya suaminya boleh sembuh. Gara-gara percakapan dengan istrinya itu, di perjalanan pulang saya jadi mengevaluasi doa-doa yang saya panjatkan kepada Yang Mahaesa itu. Benarkah saya ini sudah menyaring dengan benar apa yang saya ajukan di dalam doa?
Mengapa konten dari doa saya cuma begitu-begitu saja? Kalau tak minta kaya, minta kondang, sehat, enteng jodoh, panjang umur, punya anak. Konten doa saya sangat mencitrakan doa seorang pengecut dan manusia yang mau menang sendiri?
Kalau misalkan pasangan saya sakit keras dan sekarat, apakah doa saya akan berakhir minta sembuh? Mengapa saya minta sembuh? Karena saya tak mau kehilangan. Padahal saya tahu manusia itu kalau enggak sekarang, sekian hari, menit, bulan, tahun kemudian, yaa...pasti game over.
Doa saya adalah doa seorang pengecut. Kontennya hanya melulu menyenangkan saya, tetapi tak berani menyenangkan Sang Pemilik. Nurani saya nyamber. ”Minta melulu. Dari kecil, remaja, dewasa, tua, mintaaaa...melulu. Kapan mau memberi, Bung!” Nanti kan saya bernyanyi nyaring seperti ini. ”Yaaa...saya kan boleh dong minta sama Tuhan. Namanya juga manusia.”
Kalau pasangan saya meninggal, terus kenapa? Apakah saya akan bertanya kepada diri sendiri, untuk apalagi saya hidup, lah wong pasangan saya sudah tidak ada? Tidakkah saya bisa sebentar saja berpikir bahwa saya sudah diberi kesempatan hidup bersama sekian belas atau puluh tahun, yaa...cukup adil bukan kalau sekarang tak bisa bersama lagi? Kan saya dan Anda tahu, tak ada pesta yang tak pernah usai, bukan?
Saya ini cuma berani memiliki, tapi takut kehilangan. Sama seperti kalimat yang selalu saya ucapkan, kalau saya ini ingin masuk surga tapi tak mau mati. Maka menyaring permintaan dalam doa itu penting, tak hanya untuk mengurangi doa-doa egois, tetapi juga menghindari kemungkinan menjadi pengecut.

Batas Akhir Penggunaan : Expired Date

Kemarin adikku berseru dengan lantang "yaaaaaa TimTam ku expired! Ah ya udahlah ya masih enak inih …" lalu tetap saja dia lahap meski sudah terlambat 3 hari dari batas akhir penggunaan. Di lain hari aku juga membaca pernyataan dari teman "Jangan terhanyut sama yang manis - manis, pasti nanti juga basi… coklat aja bisa expired." Hmmm …. Mari berpikir bukan dari permukaannya saja, tapi mari kita ulas lebih dalam. Mau bicara batang coklat? atau biji coklat? <---- kok rasanya maknanya ambigu menuju saru.

Sebagai wanita yang level kecantikannya sedikit diatas rata - rata (bukan bermaksud kePDan tapi lebih ke sadar diri *helah! ) saya menemui pria - pria bicara manis dengan berbagai pujian dan perlakuan. Semuanya mulai dari manis, jorok, norak, dan mempesona pernah saya hadapi. Apakah mereka bisa basi? Apakah mereka lama - lama bosan bicara manis? atau tetap konsisten dengan perlakuannya itu? Tentu saja sebagai orang yang pernah dan masih berusaha untuk tidak skeptis, saya sempat menganggap itu semua bisa basi. 3 bulan pernikahan bilangnya "Hai honey, gorgeous you are awesome and yummy please hand me the food!" nanti 3 hari menuju kematian kalau untung istrinya masih sama dan peyot - peyot bilangnya "ambilin makan!" Ini yang selalu ada di pikiran saya, karena toh sudah tua dan peyot kan ya palsu dan munafik sekali kalau masih dipanggil georgeous, honey, and yummy!

Nah, ini juga lagi - lagi bicara persepsi. Seperti ketika kita makan coklat. Mungkin coklat yang sudah dalam kemasan itu nantinya akan basi karena sudah diolah dan diberi bahan lain yang daya tahannya tidak lama. Tapi coba pikirkan buah coklatnya, sebelum dia diolah. Pastinya orang yang memetik buah coklat untuk diolah akan memikirkan pembibitan ulang, sehingga coklat akan tetap tumbuh terus dan mengikuti lingkaran kehidupan untuk terus dan terus memberi kenikmatan dalam bentuk es coklat, susu coklat, truffles, cookies, dan lain sebagainya. Jadi, kalau nanti kamu lihat istri atau suamimu semakin menua, menyebalkan, tidak bisa dipahami, dan bahkan sudah tidak bisa diajak bercinta *tsah … maukah kamu untuk tidak melihatnya usang secara biologis tapi tetap setia mencintainya dengan tulus dan konsisten? Agar supaya manusia - manusia ini lingkaran kehidupannya semakin terus kaya akan saling memberi dan menerima cinta?


Mungkin setelah menulis ini diatas kepalaku sudah ada halo dan ditanya Tuhan Alam Semesta "mau mati kapan? kok kayaknya udah sok paham gitu sama idup?" ….. jawabku, "nanti - nanti deh Tuhan, lagi pengen beli mobil jeeeeee …. "

Monday, January 13, 2014

Ya Sudahlah yaaaaaa …..

Jantungku berdegup kencang dan sedikit sakit. Nafasku tersengal seperti tidak ada satupun kata yang bisa keluar dari mulutku. Badanku bergetar dan tanganku mengepal serasa ingin menghantam. Wajahku panas persis seperti karakter komik yang memerah karena amarah. Mataku buram tertutup air mata yang juga ingin memecahkan suasana dan mendukung gemparnya…

amarah

Akhirnya kepalaku sakit, perutku mulas konstipasi, nafasku sesak seperti Asthma, dan akhirnya kencingku berdarah. Ya, aku sedang marah sampai sampai pada akhirnya ini berpengaruh pada tubuhku. Ya tepat! Aku terlampau marah sampai tubuhku tak lagi bisa menerima dan melampiaskannya  pada efek - efek samping sakit yang tidak biasa bin ajaib ini.





Seminggu kemarin aku diajak belajar sama alam semesta. Aku diajak belajar mengolah semangat, amarah, dan menerima. Sebenernya ajaran ini sudah berulang kali diajarkan, tapi mungkin aku kelewat bengal atau goblok, tetep aja gagal paham. Tapi aku mau agak congkak sedikit, karena kupikir seminggu kemarin sudah kulalui dengan penuh gejolak tapi pada akhirnya aku paham dan bisa menerima. 

REMUK

Hoooo ya remuk pastinya, ketika seseorang punya harapan sesuatu dan harapan itu sirna. Seperti patah hati yang belum bikin mati tapi ya lumayan remuk. Rasa tidak terima, kecewa, gemes, marah, bingung, dan frustasi akan jadi perpaduan bumbu yang pas dalam segala bentuk amarah. Njuk aku kudu piye aku bingung! Gimana sih caranya menanggulangi rasa ini ketika kenyataan tidak sesuai dengan realita? *akukudupiye

Pilihan 1

Tentunya banyak orang yang mengusulkan untuk berdoa! minta pada Tuhamu maka kau akan diberi HALLLEEELUYAHHHH! helah! kayak Tuhan itu pembantu …. "Tuhan! bikinin minum" … "Tuhan! minta duit!" ….. tapi ya tidak ada salahnya minta pada Tuhan, siapa tau kuatnya sinergi antara doa dan semangat bisa berbentuk pada keajaiban, karena seluruh kekuatan terbesar ada padaNya … aku percaya itu! Asaaaaaaalllll ya tetep musti bisa rela, ketika Tuhan yang dipuja berbagai cara dan dipanggil dengan berbagai nama ini dengan seenak jidatnya melakukan manuver lain - lain memberikan sesuatu yang tidak kita inginkan tapi yang kita butuhkan. Ya sudahhhhlaaahh ya terima aja!

Pilihan 2

Sadar diri aja kalau hidup itu naik turun dan bentuk semangat itu seperti merelakan apapun yang terjadi dalam hidup ini. Dengan demikian, apapun harapannya kita sudah sadar jawabannya bisa iya dan tidak, tinggal diterima aja, karena ini pasti yang terbaik. Ya sudaaahhh laaahhh yaaa terima aja!

Pada intinya, semua orang punya caranya sendiri untuk bersemangat dan menjadikan faktor lain untuk menambah semangat dalam mencapai sesuatu atau berharap akan sesuatu. Mereka hanya sering lupa atau tidak terima atas apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan dan keinginan mereka. Lalu bagaimana caranya untuk mengatasi proses remuknya itu? yaaaaa… kalau aku sih sedang belajar menghadapi, menerima, memahami, dan kencing berdarah …. sampai akhirnya … yaaaaa sudahhhlaaahh yaaaaa terima aja!


I do really thank the coincidence of universe for bringing me to watch RUSH the movie as I learn about encouragement and acceptance and to Samuel Mulia for writing "Ya sudahlah ya" article on Kompas, Sunday, 12 January 2014 as I learn about managing my encouragement and acceptance. *isep ganja*











Rush : Someone's Driven by Something

 Ketika disodoring dua pilihan film oleh suamiku antara film perjuangan hidup dan kisah nyata biopic akan sebuah kompetisi, sudah pasti RUSH yang membuat aku ingin tonton untuk menghabiskan akhir pekan. Ya! film yang menggambarkan kompetisi untuk memperjuangkan sesuatu. Untuk kali ini bukan hanya untuk sebuah kejuaraan tapi juga akan pemahaman. Bahwa ada sesuatu hal yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu…. Epic!

Oh jelas kehadiran Chris Hemsworth bukan alasan aku menonton ini, tapi Niki Lauda dan James Hunt lengkap dengan drama rival mereka. Tentunya nuansa vintage  dan vivid colour menambah film ini menjadi salah satu favorit untuk menggambarkan kisah nyata tahun tujuh puluhan antara dua juara dunia itu. Kemudian semangat seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai motivasi atas pencapaiannya. Bahwa terkadang bahkan musuh/rival kita menjadi motivasi kita untuk mencapai sesuatu yang ingin kita raih. Tapi tetep ya … apapun yang kita ingin raih dan ingin kita dapatkan, belum tentu sesuai dengan jalan yang sudah ditentukan oleh Tuhan Alam Semesta.

Friday, January 3, 2014

Monster in Law

Sewaktu bekerja dulu di salah satu hotel jaringan internasional bintang lima, aku adalah pegawai termuda di kantor eksekutif. Sebagian besar teman makan siangku ada yang hamil, sudah menikah, sudah beranak pinak, sudah selingkuh, sudah cerai, dan sudah tidak mau menikah lagi. Agak susah menelan setiap makan siangku ketika berkumpul dengan mereka dan bicara hal - hal pernikahan yang mana di benakku sempurna seperti dongeng anak kecil dan dihancurkanlah imajinasi itu oleh cerita mereka. Aku seperti dihadapkan pada Santa Claus itu tidak nyata dan dipaksa memahami. Sialan! menjadi dewasa itu memang jebakan.

Pembicaraan mengenai mertua tentunya merupakan topik hangat selain sex, anak, dan perselingkuhan. Semua teman makan siangku setuju bahwa mertua itu adalah monster berbalut sosok yang harus dihormati dan dituruti. Waktu itu sih aku hanya berbagi senyum karena aku tidak pernah berhubungan dengan orang tua pacar - pacarku jadi tidak tau rasanya menghadapi calon mertua. Lalu kemudian lebih pada menyangkal, masa ada sih mertua yang sampai segitunya memperlakukan menantu. Wah berarti kisah - kisah sinetron kacangan itu benar adanya. Pikirku waktu itu.

Ketika menikah, akupun juga lupa memperhitungan kebijakan keputusanku menikah untuk menghadapi mertua. Kupikir mertua adalah sebatas alih alih ketemu 6 bulan sekali dengan pencitraanku bagai praktisi hubungan masyarakat selama ini yang mampu mendamaikan setiap situasi menghadapi mereka. Gampang! suaraku hatiku begitu. Kalau tau situasi yang aku hadapi sekarang, pastinya 6 bulan lalu aku bilang sama suamiku "Sayang, kita lebih baik kumpul kebo aja!" hahahahaha

Ternyata keluhan mengenai mertua itu sama saja, hanya tingkat keparahannya berbeda - beda. Syukurlah mertuaku itu nilainya 6 dari 10 poin. Tingkat menjengkelkan, intervensi, intimidasi, dan pengaruh konvensionalnya itu masih dalam batas wajar menurut survey famili 100. Tapi….. ini rasanya nilainya 10 dari 10 poin untuk aku yang belum pernah menghadapi mertua dan memiliki latar belakang yang tidak seperti pada umumnya.

Yang membuat aku tertekan, depresi, dan muak dengan kehadiran mertua adalah sebatas karena aku dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga demokrat. Ayah dan Ibu membesarkan aku dengan cara yang gampang, bebas dan bertanggung jawab. My parents was not taking my fierceness personally and never judging them as rebellion against them! mereka menerima aku sebagai anak mereka yang memang beginilah dan ini bukan tentang mereka, ini tentang anaknya.

Ternyata menghadapi mertuaku ini, aku harus berupaya merumuskan beberapa tips ampuh :

BERSYUKUR
Akkkk sialan juga yaaaa ini jawaban klise atas semua masalah diatas segala emosi dan murka aku! Ya sudah, aku berusaha bersyukur karena kalau 29 tahun lalu mereka tidak bercinta maka suamiku itu tidak hadir dimuka bumi ini. Peduli setan cara mereka mendidik anaknya tapi ada sikap - sikap suamiku yang pastinya bikin aku jatuh cinta.

JARAK
Aku tidak mau terlalu dekat dan tidak mau terlalu jauh. Aku tidak mau terlibat dalam urusan pribadi mereka untuk memudahkan aku menjauhkan urusan pribadi aku dan rumah tangga kami dari tangan mereka. Lebih penting lagi, sedikit bicara banyak tersenyum dan tenggak alkohol sebelum ketemu mereka. Ini memudahkan stabilitas emosi dan tekanan jiwa. Sedikit bicara juga membantu aksi menjaga jarak dan sulit didekati. Dengan demikian, hubungan akan terjaga harmonis dipermukaan dan penuh angkara dibelakang. Peduli setan sama yang dibelakang. hahahahaha

KEPUTUSAN
Nah, ini yang paling penting. Mertua tu kan ya alih alih ingin yang terbaik untuk anaknya. Menasihati dan sedikit memaksa untuk menuruti kehendak mereka. Tapiiiiiiii, yang terpenting adalah aku dan suamiku menerima masukan mereka dan mengambil keputusannya. Biasanya pergulatan suami istri itu terjadi ketika suami atau istri nya memihak orang tua mereka bukan pasangannya. Syukurlah suami aku punya cara yang seru untuk menghadapi orang tuanya yang mana mertua aku. Kita selalu nampak "ya iyalah" didepan mereka namun segala keputusan diambil atas mufakat aku dan suamiku saja. Tentunya disini aku juga harus obyektif ya! bukan karena aku sengit lalu semua nasihat mereka itu kuanggap dementor. Aku tetap bijaksana menyaring segala masukan yang diterima.

Contohnya begini :
Mertua : Kalian itu jangan merokok, itu tidak sehat.
Kami : ya ya yaya

Dibelakang mertua : kami sepakat untuk tetap merokok dan membersihkan puntung rokok sebelum mereka datang.

-----

Mertua : Kalian harus memanfaatkan waktu untuk bekerja sebaik mungkin untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga.
Kami : ya ya ya ya

Dibelakang mertua : kami sepakat kalau mertua minta ketemu tapi kita tidak mau ketemu, kami beralasan bekerja untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

----

Mertua : ini ada es teler dan rendang enak
Kami : ya ya ya ya

Dibelakang mertua : kami harus obyektif, ini rendang dan es teler emang enak! hahahahaaha ya udah dimakan ajaaaa sihhhhhhh :)




Thursday, January 2, 2014

Hey you! Hey Universe!

Once you make a decision, the universe conspires to make it happen
- Ralph Waldo Emerson - 

Sebagai makhluk yang susah membuat keputusan dan selalu ketakutan akan sebuah resiko, aku hanya bisa punya satu keyakinan bahwa alam semesta akan membantu. Membantu disini tidak hanya mengabulkan keinginanku tapi juga membantu akan sebuah pemahaman bahwa sesuatu harus terjadi meski tanpa sebuah jawaban yang pasti. Bisa mati gila kalau aku terus memikirkan berapa keputusan  dan resiko yang sudah aku ambil di tahun 2013, mulai dari menikah, pindah bekerja bersama keluarga, meninggalkan karir, dan tidak hidup sendiri. Yang aku yakini ya setiap tanggal 1 Januari setiap tahunnya adalah momentum dimana aku bisa menoleh kebelakang dan bilang "oh I've been through much as best as I could" dan bersamaan dengan bersemangat "hello, new year … bring it on!" 

Aku bilang sama diriku sendiri kemarin "ah persetan sama resolusi! dari dulu pingin kurus juga ngga tercapai, dulu ngga pingin kawin eee ternyata sekarang punya suami, dulu bilang pingin sendiri ternyata sekarang malah berkumpul dengan keluarga, dan lainnya yang berkontradiksi dengan resolusiku" Jadi tahun ini aku bebas resolusi! Kupikir tahun yang baru hanya perlu dijalani apa adanya dan menerima segala sesuatu sebagai sesuatu yang terbaik atas usaha semaksimal mungkin yang kita lakukan. Jadi bukan berarti tanpa semangat aku menjalani 2014 tapi lebih kepada, aku ingin terus belajar memahami, berusaha, dan menerima.

Kemudian sepenggal kalimat diatas mengajak aku berpikir bahwa selama ini aku hanya "pingin" dan bukan "memutuskan". Karena kalau aku jadi alam semesta aku akan menjawab "lha kamu pingin kurus tapi makan terus, kamu ngga pengen kawin lha kok memutuskan mau menikah, kamu pengen sendiri lha kenapa pulang kerumah buat ikut berkecimpung dalam bisnis keluarga" lalu kemudian aku tertunduk malu karena tidak paham akan makna "ingin'' dan "keputusan". Jadi untuk menyambut 2014 ini aku mau memahami resiko dari sebuah keputusan dan keyakinan atas sikap yang diambil. Karena membuat keputusan dan menjalaninya adalah sinergi sebuah perilaku untuk sebuah pencapaian. Kalau tidak mendapatkan pencapaian itu barulah efek memahami dan menerima dengan ikhlas sebagai bentuk kedewasaan *elap iler

Untuk tahun 2013 dan sebelumnya, terima kasih untuk setiap naik turunnya kehidupanku. Kesempatan untuk belajar jatuh, belajar merangkak berdiri, dan mensyukuri setiap lebih kurangnya. Untuk harapan yang berusaha aku rengkuh dan yang berusaha pergi. Kepada hati yang dipaksa mati lalu mulai memberi rasa. Kepada setiap pertemuan untuk sebuah perpisahan. Karena nanti suatu saat aku hanya ingin bisa memutuskan untuk bisa meyakini ini semua adalah yang indah dari sebuah proses yang tidak mudah.