instagram

Pages

Wednesday, August 13, 2014

Mengakui Keangkuhan Menerima Ketidaksempurnaan


Sembari menunggu antrian panjang bakmi jawa terenak di desa, saya mencoba membuat hari ini lebih bermanfaat dengan mendiskusikan perasaan saya kepada suami saya. Meski diskusi ini juga tak cukup membunuh waktu karena lamanya antrian bakmi jawa yang hanya dimasak oleh satu orang dengan tiga tungku dan kami adalah antrian ke dua puluh mungkin. Kami berdua membahas bagaimana saya belajar untuk mengakui keangkuhan dan mulai adaptasi dengan penerimaan atas ketidaksempurnaan hidup.



Dari kecil saya lahir di keluarga yang angkuh, kakek nenek saya termasuk orang berada di daerahnya dengan jabatan tinggi dan bisnis yang lebih dari sekedar jalan. Saya masih ingat waktu kecil dulu meski saya perempuan, saya dipanggil "Mas" sebagai bentuk penghormatan semacam "Den Mas" yang berlaku baik untuk perempuan dan laki - laki. Panggilan ini berlaku untuk seluruh asisten rumah tangga kakek nenek dan tetangga sekitar di desa mereka. Pendidikan akan budi pekerti dan selera yang tinggi juga ditanamkan dari kecil. Mulai dari tata cara makan bahkan sampai cara mengunyah yang tidak boleh sampai berbunyi, pilihan kata untuk berbicara, sopan santun dengan orang yang lebih tua, tanggung jawab pada lingkungan seperti membuang sampah harus di tempat sampah, mengikuti aturan yang berlaku dalam berkendara, bahkan sampai selera yang tinggi seperti memilih beras yang pulen, bersih, dan wangi, memilih kain yang seratnya rapih, buah yang ranum tanpa hama, rasa makanan yang selalu miroso, dan bahkan fasilitas untuk membuka wawasan yang luas juga merupakan aset yang tidak terbilang murah waktu itu.  Untuk itu kami tumbuh menjadi terkesan angkuh, karena dasar - dasar perilaku dan pengetahuan dasar yang kami dapatkan ketika dikomparasi dengan anak - anak sebayaku waktu itu, cenderung kami tampak dan dituntut untuk lebih bermartabat. Bukan berarti yang lain tidak bermartabat (takut diprotes nantinya) hanya kami sadar kami punya perlakuan yang berbeda.

Sejalannya waktu, kami menjadi pemilih. Seperti kami hanya nyaman berelasi dengan rekan - rekan yang memiliki perilaku dan pemikiran yang sama. Saya pribadi menjadi seperti pemilih. Ketika memiliki teman yang brutal dengan perilaku tidak senonoh pada akhirnya saya memilih mundur dan menjauh. Otomatis kehidupan saya selanjutnya menjadi terisolir pada golongan yang itu - itu saja. Dalam kehidupan sosial yang kami kenal sebagai birds with the same feather  menjadikan kami berteman dengan anaknya kerabat ini, menantunya kerabat itu, serta rekanan yang masih saudara jauh. Lingkarannya berputar di area situ saja. Ketika menceritakan ini dalam blog, saya yakin beberapa yang membaca akan beranggapan, "angkuh banget sih…" tapi sebenarnya bukan itu inti penggambaran ini.

Sayangnya, saya tumbuh dengan alur yang sedikit menjadi meremehkan orang lain yang memiliki tindak tanduk berbeda dengan saya. Seperti ketika melihat orang buang sampah sembarangan, saya dalam hati akan komentar "oh my God, nobody teach you that?!" atau ketika di rumah makan melihat orang makan sambil mengecap mulutnya sampai bersuara, saya juga dalam hati akan bilang "manner please!" dan berbagai benturan pada sikap menyepelekan saya yang membuat hati ini menjadi angkuh. Dengan tidak berat hati saya akui saya terkadang menjadi angkuh karena perbedaan selera pun menjadi tala ukur saya untuk meremehkan orang lain seperti "haduhhh, itu tas keliatan banget KW kok ya masih dipakai?" kok ya jadi nyinyir ya saya dan lagipula terserah mereka mau pake KW atau tidak wong tidak mempengaruhi kehidupan saya. Hal ini juga menjadi benturan ketika berelasi dengan suami saya, ketika saya mulai bertemu dengan beberapa temannya yang juga bersikap bersimpangan dengan pemikiran saya. Saya juga menjadi menyebalkan dengan kritisi "dia kok gitu sih?!" dan "dia kok gini sih?!"

Kesadaran itu baru mulai saya pahami ketika beradaptasi pindah tinggal di desa ini. Tempat orang tua saya membesarkan bisnis mebelnya. Sungguh luar biasa emosi saya meluap karena melihat perilaku orang yang sungguh - sungguh tidak bisa saya terima. Mulai dari meludah sembarangan, teriak - teriak kalau bicara, berkendara dengan tidak sopan, tidak bisa antri, makan di warung semua tulang dan sampah dibuang di bawah, naik mobil tapi buang sampah dari jendela, dan berbagai hal - hal emosional yang kadang membuat saya tidak bisa menahan emosi. Fenomena ini terjadi setiap hari dan untung saja orang tua saya cukup ketat mendidik karyawan kami sejak dulu untuk punya tata krama dalam bekerja. Jadi paling tidak di lingkungan terdekat, saya masih bisa dengan mudahnya beradaptasi dan tidak naik darah.

Lalu saya mulai berpikir. Mereka mungkin tidak memiliki acuan contoh sejak kecil dalam berperilaku sehari - hari. Mereka juga belum memiliki kesempatan untuk berwawasan luas untuk menerapkan perilaku yang baik untuk mereka sendiri dan juga untuk orang lain yang ada di sekitarnya. Mungkin mereka tidak peduli mengapa sendok dan garpu harus ditaruh menyilang di piring kosong setelah makan. Sementara saya ditegur kakek habis - habisan karena tidak menaruhnya demikian. Saya punya kesempatan belajar apa bedanya pilihan kata "sampeyan" dan "njenengan" untuk menyebut "anda" dalam Bahasa Jawa karena tingkat kesopanannya berbeda. "njenengan" punya nilai kesopanan lebih tinggi daripada "sampeyan".

Kemudian saya mencoba belajar untuk tidak meremehkan. Karena saya juga pastinya tidak sempurna. Bisa jadi saya lebih jorok karena suka ngupil ditempat umum dan tidak saya sadari. Saya mencoba menerima bahwa inilah yang dimaksud keberagaman. Tidak hanya keyakinan dan adat istiadat saja yang berbeda, tetapi perilaku dan gaya hidup juga berbeda juga. Beradaptasi dengan mereka bukan juga berarti melegalkan saya untuk bersikap semaunya, tapi dengan tidak menuntut mereka harus sama dengan saya. Saya akan tetap mencoba menerapkan sikap perilaku saya yang saya anggap baik dan semoga baik untuk sesama dan lingkungan juga. Sembari berharap dan alih - alih ada yang memperhatikan "Eh Mbak Stella tu ngga pernah lho buang sampah di sembarang tempat, dan dia kece …. ikutan ah" … nah! malah berdampak baik bukan! Atau ada yang komentar "Mbak Stella itu keren karena ndak pernah ngomong saru didepan umum, wah aku mau ah!" ….

*resiko dari tulisan saya diatas adalah pasti kedepannya saya bakal kehabisan bakmi capjay di warung ijo karena saya mengantri dan 99% konsumen lainnya brutal minta didahulukan.

No comments:

Post a Comment